Taman Bermain part III

Rabu, 18 November 2009


Lanjutan Kemarin....................,

Akhirnya diapun berwujud mawar dan sobatkupun dengan tawa telah menjadi durinya, meskipun aku tak pernah bisa memandangnya sebagai mawar melainkan sosok ”si Badut Kecil”.
Dalam hari-harinya, perbedaan tetap dan selalu terjadi perbedaan pandangan antara aku dan sobatku. Hingga kabut hitam diantarkan sang mawat itu ke tempat kami yang mana aku memandangnya bak seorang badut kecil, sobatku menganggapnya sebagai mawarny, sedangkan dia merasa menjadi sekuntum anggrek.

Masa berganti, tumpang tindih diantara kami tak terbendung hingga keputusasaan menghampiriku. Disela keputusasaanku, tanpa hujan dan tak ada petir, aku disapa oleh bau bunga yang sangat menyengat hidungku. Kumenoleh dan akupun sadar kalau itu adalah mawar yang pernah ada di ”pohon bermain”. Dengan riang, dia melambaikan daunnya ke arahku dan berkata, ”Bukankah kau memintaku sesuatu padaku?, dan kini kucoba memberikannya padaku”. Aku bingung dan aku larut dalam diamku sejenak, ”Ada apa dengannya? Hingga siulanku cukup menggoyangkan rantingnya. Apa durnya tidak cukup kuat tuk menjaganya?”. Kutersentak dalam lamunanku dan aku coba menjawab wewangiannya, ”Aku sangat menginginkan hal itu, namun tuk saat ini sayapku cukup lemah tuk membawamu terbang, kuharap kau mengerti ketakberdayaanku ini”. Layaknya seorang yang pengertian dia bernyanyi, ”Aku paham, bagaimana keadaan kumbang sepertimu. Musim semi depan mungkin saat yang tepat tuk gapai semuanya”. Dalam buaian ini aku tertegun dalam angan dan berfikir, masih adakah bunga yang sesegar ini? Atau ini cuma nyanyian sekuntum mawar, yang durinya sudah cukup lapuk? Akupun terlelap dalam lamunanku itu.

Sang pagi dan malam tetap bersalaman dan bersapaan seperti biasanya. Akhirnya musim semipun datang dan aku cukup lupa akan nyanyianku bersama mawar di pohon bermain itu. Seperti biasanya aku terbang tanpa beban hingga kudapati ia di salah satu pohon lain yang daunnya ditutupkan buat para bebijian. Dengan cukup tegang kurasakan senandung khidmat darinya ”Masih ingatkah kau akan buaian kita di musim kemarau dulu? Karena semi inilah yang selalu kunantikan kedatangannya!”. Ringan, kosong, hasrat, sobatku memaksaku untuk menjalani semi ini bersamanya karena sobatku cukup berkeinginan tuk menjadi durinya, meski kupikir itu tak mungkin. Aku sambut senandungnya dan berkata, ”Yaa! Sepertinya semi ini adalah semi terindah yang pernah kujalani”.

Akhirnya dia dan aku mengarungi belantara ini, yang awalnya tak pernah kuimpikan sebelumnya. Dalam perjalanan itu aku cukup dibingungkan dengan tanya ia padaku, ”Berapa potong cahaya yang kau butuhkan dan kau hendak mengambilnya? Dimana? Di gunung? Di sungai? Atau di beberapa lembah yang ada di seberang sana?” Sobatku menyambut pertanyaannya, ”Kurasa kau lebih tau dimana cahaya terbanyak yang bisa kita kumpulkan, karena aku cukup asing dalam belantara ini”. Dia meramu jawabanku dan mengakhirinya, ”Mungkin seperti kita akan pergi ke gunung itu, karena cukup banyak cahaya di sana dan aku juga dapat menyaksikan berbagai kehidupan dari ketinggia”. Akhirnya kami sampai di gunung yang dimaksudnya setelah mengambil beberapa potong cahaya kamipun langsung mengamati berbagai rantai kehidupan dari ketinggian yang ada. Dalam pengamatan itu aku terdiam dan cukup gundah, karena aku binggung kenapa merasa seperti durinya, padahal aku berpakaian seperti kumbang? Aku ini siapa dan apa bagi mawar ini? Dalam dua sosok itu aku menjalani apa yang terjadi pada saat itu, aku terbahak dalam heranku. Aku menerka dan seolah-olah mengerti dalam ketidaktahuanku akan dirinya. Setelah berakhirnya semua helatan ini, aku dan diapun harus kembali ke pohon masing-masing meski semuanya masih meresahkan jiwaku.

To be Continue

Writer,
Akasha