PRINSIPKU RIVALKU

Selasa, 18 Mei 2010


Cuaca saat itu benar-benar panas. Meski hari menjelang sore, namun teriknya matahari masih bias kurasa meski aku ada di dalam mall yang ber AC.

“ Intan, ayo beli es krim! “. Rengekku bak anak balita.

“ Bentar, gue masih mau belanja ni……. “ “ Ayo dong…. panas nih…. “ kataku seraya menarik tangannya ke kedai es krim langgananku.

Sembari menunggu Intan yang sedang memesan es krim, ku dudukkan tubuhku di salah satu bangku kedai.

“ Ih… sore-sore gini kok masih pacaran sih!... anak SMA lagi,! Masih pake’ seragam pula! “

kataku heran melihat sepasang remaja yang masih mengenakan seragam putih abu-abu tengah berpacaran.

“ Woe! Bengong aja, merhatiin apaan sih?... “ kata Intan mengagetkan dengan 2 gelas es krim di tangannya.

“ Ih! Intan apaan sih?... kaget tau!”. “ Makanya, jangan bengong, Gita… Gita…. “. Nampaknya Intan mencari tahu apa yang sebenarnya bikin aku bengong.

“ Ow… loe lagi nglatin orang pacaran…., kenapa? Pengen?.. “ kata Intan sembari menaik turunkan alisnya sambil meringis.

“ Ih! Apaan sih loe! Pengen?... ya nggaklah! Kan udah berulang kali gue bilangin gue nggak mau pacaran sebelum lulus SMA, bisa ganggu sekolah kita tau……”. “ Ow… gue pegang lho ya omongan loe….. tapi Git! Pacaran itu enak lho…. Bener! “ kata Intan terus menggoda.

Akupun hanya diam tak peduli dengan bibir manyun dan mengduk aduk es krim di depanku.

“ Eh Tan! Besok anter gue ke took buku dong…. “

“ Toko buku? Kenapa nggak sekarang aja?....”

“ Nggak bias! Gue mesti pulang sekarang!,, loe mau kan ?... “

“ Aduh! Sorry banget!, besok gue ada janji ama cowok gue…. “

“ Apa! Loe udah punya cowok?... berani pacaran loe?....”

“ Udahlah, kan tadi udah gue bilangin pacaran itu enak! Masa” loe gak ngerti?... “ “ ih! Dasar loe Tan! Genit loe, kecil-kecil udah berani pacaran! Kalo gue sih nggak mau! “

“ Ye… kok genit sih…. Anak SMP aja udah banyak yang pacaran, apalagi gue anak SMA! “

“ Gue kan juga anak SMA, tapi nggak minat tuh buat pacaran! “.

“ Itu karena loe masih kaya’ anak kecil! “. “ Enak aja loe!”

“ Loe jangan sok Git, kepentok cinta baru tau rasa loe! “ akupun hanya manyun di hadapannya.

Keesokan harinyapun, sepulang sekolah aku langsung meluncur ke took buku sendirian. Disana aku menjumpai buku yang sangat menarik, best seller. Tapi buku itu terletak di deretan rak paling atas. Aku pun jinjit-jinjit untuk bias mencapainya.

Tiba-tiba ada seseorang yang mengambilkan buku itu untukku.

“ Oh my god! Cakep banget…. “ gumamku terpesona menatapnya.

“ Nih bukunya! “ katanya dengan senyum ramah yang manis.

“ Makasih! “ kataku meringis salah tingkah.

Iapun mengulurkan tangannya.

“ Rio ! “ katanya mengajakku berkenalan. “ Gita! “ balasku sembari menjabat tangannya.

Sore itupun akhirnya aku tidak sendirian, karena ada Rio yang bersedia menemaniku. Meski awalnya aku merasa kikuk namun lama kelamaan aku bias berbincang akrab dengannya, bahkan kami saling memberi nomen handphone kami masing-masing. Sebelum kami berpisah, iapun meneraktirku makan es krim terlebih dahulu.

***

Sebulan sudah kami saling mengenal, dan sebulan itupun membuat kami semakin dekat. Hingga akhirnya dia bilang cinta padaku dan dia ingin aku menjadi pacarnya.

Akupun menerimanya untuk menjadi pacarku, tepatnya pacar dan cinta pertamaku. Namun ada satu masalah yang mengganjal hubungan kami. Prinsip! Ya, prinsipkulah yang mengganjal hubungan kami, prinsip untuk tidak berpacaran sebelum SMA. Dan itupun memaksaku untuk mengajaknya backstreet dari orang orang di sekelilingku. Iapun mau menerimanya, meskipun pada awalnya ia menolak. Keesokan paginya, aku pun sudah siap dengan putih abu abu ku. Saat itu kuputuskan untuk pergi ke sekolah dengan taksi namun, di perempatan dekat rumahku kulihat Rio tengah menungguku, aku pun menyetop taksi yang aku tumpangi. Ku turun dari taksi itu, kuhampiri Rio . " Rio ! Kamu ngapain? ".

" Aku mau nganter kamu ke sekolah. "

" Nggak kuliah?.." " Kebetulan nggak ada kuliah pagi,!. " Pagi itupun aku berangkat sekolah diantar Rio .

" Hati hati ya beib, belajar yang bener!. " katanya begitu sampai di sekolahku.

" Rio , jangan panggil aku beib d0ng... Geli...! " kataku memanja.

" Dasar kamu anak kecil! " katanya sembari membelai rambutku dan tersenyum manis.

" Hati-hati ya... Bye.." kataku tersenyum manis dengan tangan kanan melambai ke arahnya. Riopun berlalu dari hadapanku dengan mobil silver miliknya. Tiba tiba Intan datang menghampiriku.

" Git, siapa tu? Pacar loe? " tanya Intan mengagetkanku.

Sontak akupun merasa gugup, aku bingung harus menjawab apa, aku tak mau Intan tau kalau aku telah melanggar prinsipku, lagipula pasti aku akan di tertawakan.

" Nggak, nggak mungkinlah gue punya pacar, gue kan belum... "

" Belum lulus SMA kan ... Ah, basi loe! " katanya melanjutkan kalimatku.

" Terus tadi siapa?" "ow.. Itu tadi, itu tadi sepupu gue, iya.. Dia sepupu gue" jawabku gugup. " Loe nggak bohong kan ? " " Ha... nggak, nggak, gue nggak bohong!" "ya, bagus deh.. Tapi loe k0k nggak pernah cerita kalo punya sepupu cakep! Gue titip salam ya.." katanya tersenyum. Akupun hanya diam tak mempedulikan kata katanya sambil nyengir.

Keesokan paginya aku kembali diantar Rio ke sekolah dan tak ku sangka Intan tengah berdiri di depan gerbang sekolah. Iapun melihat kedatanganku.

" Gita! Sini! " panggil Intan padaku yang masih duduk di mobil. Akupun keluar dari mobil dan menghampirinya. " Ada apa Tan?" " Kenalin gue dong.. Sama sepupu loe! Ya., " katanya memohon. Seketika hatikupun serasa tersulut api. Tersulut api cemburu.

" Loe kan udah punya pacar! " kataku mencari alasan.

" Nggak! Gue udah putus! Kenalin Gita... Please.. " katanya memelas. Akhirnya dengan berat hati ku panggil Rio agar turun dari mobil.

" Rio, kenalin ini temen aku, Intan " " Intan," " Rio "

Kulihat mereka saling berjabat tangan. Intan pun nampak begitu senang hingga ia tak kunjung melepas tangan Rio . Aku pun berpura pura batuk. " Ehm! "

seraya Intanpun melepaskan tangannya. Rio pun hanya tersenyum.

" Udah ah Tan, masuk yuk! " kataku seraya menarik tangannya meninggalkan Rio sendiri di luar. " Sumpah Git.. Sepupu loe cakep banget, kayaknya gue jatuh cinta deh ama dia! " katanya sumringah.

" Apa! Jatuh cinta? " kataku kaget bagai di sambar petir. Intan pun hanya diam dengan senyum khas orang yang lagi kasmaran.

" pokoknya loe mesti bantuin gue ngedapetin Rio , ya Git?! " kata Intan menggebu gebu.

Sekuat tenaga aku pun membendung air mataku yang hampir jatuh karene merasa cemburu. Keesokan paginya, Intanpun sudah bersiap menunggu kedatanganku di depan sekolah. Namun saat itu aku berangkat sekolah dengan sopir, bukan Rio .

" Git, loe nggak sama kak Rio ? " tanya Intan menyambutku.

" Nggak, dia ada kuliah pagi! "

" Ya udah, kalo gitu gue titip surat ini aja ya buat dia.. " katanya sembari memberikan sepucuk surat dengan amplop warna pink.

" thanks ya.. " katanya dengan senyum.

Akupun cuma bisa nyengir menahan amarah. Aku merasa cemburu. Sebelum ku serahkan surat itu pada Rio, terlebih dulu ku baca isi surat itu. Ternyata itu adalah surat cinta. Intan mengungkapkan semua perasaannya terhadap Rio lewat surat itu. Hatiku pun hancur berkeping keping. Air mataku pun tak kuasa lagi ku bendung. Aku merasa hatiku benar benar terluka. Aku pun menelpon Rio dan mengajaknya bertemu di taman dekat rumahku.



***


" Ada apa Git? " tanya Rio yang melihatku tengah menangis. Seraya ku peluk tubuhnya erat erat. " Ada apa? Kamu ngomong d0ng...! ".

Aku pun melepas pelukannya, ku berikan surat dari Intan pada Rio . Rio pun segera membacanya. " Rio , aku mau kita putus! " kataku dengan pipi basah.

" Putus, kenapa? Karena Intan? " Akupun menganggukkan kepalaku.

" Git! Nggak bisa gitu dong, aku masih sayang kamu! "

" Nggak Rio , kita harus putus, Intan sahabat aku dan aku mau kamu bisa jadian ama dia, aku nggak mau dia sedih dan kecewa, toh emang udah prinsip aku untuk nggak pacaran sebelum lulus SMA! "

" Jadi kamu tega ngorbanin aku, pacar kamu sendiri demi prinsip konyol kamu itu? Okay, fine.. Kita putus, tapi aku nggak akan pernah deketin Intan apalagi pacaran sama dia karena aku masih cinta sama kamu tapi karena udah keputusan kamu buat mertahanin prinsip kamu itu, aku akan menjauh dari kehidupan kamu juga Intan, selamat tinggal! " kata Rio dengan tegas meski ku lihat ada
linangan air mata yang tertahan di sudut matanya seraya pergi meninggalkan aku sendiri dalam tangis.

Aku sadar ini semua memang salahku. Dan karena prinsip konyolku itu, aku telah membuat tiga hati terluka. Rio , Intan, dan aku sendiri.

-The End-

Ketika Derita Mengabadikan Cinta part VII

Rabu, 28 April 2010


Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalah wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta dengan senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua. Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini. “Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang…” bisiknya mesra sambil tersenyum.

Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara. Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja! Namun, kami belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister pun kami masih hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada istilah makan enak dalam hidup kami.

Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras, kami berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah, merasakan kembal tidur di kasur empuk dan kembali mengenal masakan lezat.

Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua di Heliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang ‘edan’. Ia kembali
mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program Doktor Spesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:

“Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui, dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar Doktor di London. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak ada salahnya kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan.”

Kucium kening istriku, dan bismillah… kami berangkat ke London. Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelar Doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialis jantung.

Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai direktur rumah sakit, dan istri saya sebagai wakilnya! Kami juga mengajar di Universitas.

Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai dia dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.

Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari 9 tahun hidup menderita, melarat dan sengsara.

Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah swt dan bertambahlan rasa cinta kami.

Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika hadirin sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab Huda Sulthan. Dialah istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan bisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz…”
Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosok perempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab biru. Perempuan itu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga merekam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai, dan
segenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan seksama.

~ THE END ~

Ketika Derita Mengabadikan Cinta part VI

Rabu, 14 April 2010


Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil meminta beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku. Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.


Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidak ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai. Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan
isteri tercinta.


Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan hamba-hamba- Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah SWT.


Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepada kekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia & lepas dari belenggu derita:


Sambil menatap kaki langit
Kukatakan kepadanya
Di sana… di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba
Bukan karna ketiadaan kata-kata
Tapi karena kupu-kupu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku… besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung


Yah… saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapa dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras untuk masuk program Magister bersama!


“Gila… ide gila!!!” pikirku saat itu. Bagaimana tidak…ini adalah saat paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai dokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidak berperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh untuk meraih gelar Magister dan menjawab logika yang saya tolak:


“Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat tawaran dari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita rengguk sum-sum penderitaan ini. Kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita wujudkan mimpi indah kita.”


Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku pun luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya.


Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami memasuki hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris kami hidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan roti dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam hari kami lalui bersama dengan perut kosong, teman setia kami adalah air keran.


Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalam suatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obati dengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untuk beli buku kami ambil untuk pengganjal perut.


Siang hari, jangan tanya… kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu, terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.


Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh, menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia menangis, itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia malah lebih kasihan kepada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah, tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya gelandangan.


Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang asalnya hidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di rumah kontrakan yang kumuh dan makan ala kadarnya.


Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasa sayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.


to be Continue....

Ketika Derita Mengabadikan Cinta part V

Senin, 22 Maret 2010


Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak memperoleh segala cinta di surga. Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus mendekatkan diri kepada-Nya.

Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur’an, lalu memakai jilbab, dan tiada putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi’ah Adawiyah yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang ia adalah
dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk hidup berdua tanpa bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia juga seorang wanita yang pandai mengatur keuangan. Uang sewa sebanyak 25 poud yang tersisa setelah membayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama sebulan.

Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kamipun mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada yang
bilang tanpa disengaja,”Ah, kami kira para dokter itu pasti kaya semua, ternyata ada juga yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya.” Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil layaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri agar menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami memang dokter yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan- pertolongan mereka.

Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkan
mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.

Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor dan didobrak oleh 4 bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitu juga dengan kursi. Kasur tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan ancaman, “Kalian tak akan hidup tenang, karena berani
menentang Tuan Pasha.”

Yang mereka maksudkan dengan Tuan “Pasha” adalah ayah saya yang kala itu pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat bajingan itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami tata kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang berserakan, kami masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang sobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja dan kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup ini.

Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancang skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tuna susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapak kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.

Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak mengurungkan niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku berhasil memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.


to be Continue.....

Ketika Derita Mengabadikan Cinta part IV

Rabu, 17 Maret 2010


Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini. Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama kanda tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan buktikan kepada mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kita berikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru. Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita kita saat ini,” jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan. Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup.

Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan dan uang sebanyak 40 pound. Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisa uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam. Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50 pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yang murah.

Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan kembali bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengarunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT. Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasil menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagi kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan mereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami. Namun bagi kami adalah hadiah dari langit.

Apapun bentuk rumah itu, jika seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagai mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedang membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk 3 bulan.

Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu kami pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari sebuah kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kursi dan satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah, itu saja… tak lebih. Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa tetap bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta.

Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah untuk memberikan gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di surga. Jika percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat dari semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan. Yang paling nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga , saat Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhak
menikmati indahnya wajah Allah SWT.

to be continue...

Ketika Derita Mengabadikan Cinta part III

Kamis, 11 Maret 2010


Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-mentah untuk mengawinkan putrinya dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad menikah dengan saya.

Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak pernikahan ini terjadi karena alasan status sosial, sedangkan keluarga dia menolak karena alasan membela kehormatan. Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?

Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantor ma’dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat karibku. Kami berikan identitas kami dan kami minta ma’dzun untuk melaksanakan akad nikah kami secara syari’ah mengikuti mahzab imam Hanafi. Ketika Ma’dzun menuntun saya, “Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan mahar yang kita sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam Abu Hanifah.”

Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata 3 sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah itu. Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah di mata Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir. Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Begitu mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah. Mobil dan segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uang sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayar ongkos akad nikah di kantor ma’dzun.

Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih tragis lagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak 2 pound, tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!

Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua bertemu di jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsara campur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang, rasa berdaya dan hidup menjalari sukma kami. “Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini. Maafkan Kanda!” “Tidak… Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telah berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisa menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah.